Tingginya laju perusakan dan pencemaran lingkungan di Indonesia, tentunya membutuhkan kelembagaan lingkungan hidup yang kuat.
Kelembagaan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) saat ini dinilai oleh sejumlah kalangan kurang memiliki kekuatan dalam menindak para penjahat lingkungan bahkan tidak punya gigi dalam mendorong dan mengupayakan pelestarian lingkungan.
Perubahan nomenklatur kelembagaan Kementerian Lingkungan Hidup, menjadi solusi terbaik ditengah caru maruknya pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam di Indonesia.
Wacana itu kembali diangkat oleh sejumlah kalangan yang hadir dalam peluncuran laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2006 yang dirangkaikan dengan diskusi panel bertema “Kesiapan Indonesia Dalam Merespon Masalah Perubahan Iklim” berlangsung di Hotel Sahid Jakarta kemarin (12/9).
Menurut Anggota Komisi VII DPR-RI Ir Tjatur Sapto Edi MT, Menteri Lingkungan Hidup selama ini hanya menjadi aksesoris, pajangan, kerjanya hanya koordinasi dan membuat kebijakan.
Tak hanya itu KLH juga diperhadapkan tidak sinkronnya dengan departemen terkait seperti Departemen Kehutanan dan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahkan peran kedua institusi pemerintah tersebut kontraproduktif dengan pelestarian lingkungan karena mereka lebih cenderung melakukan ekspolitasi sumber daya alam bahkan ikut melegitamisi perusakan lingkungan lewat pemberian izin HPH dan usaha pertambangan.”Yang merusak itu Dephut dan ESDM, disitu kendala LH, itu mustahil aqli,”ujarnya saat tampil sebagai pembicara.
Jauh sebelum Tjatur mengeluarkan pernyataan itu, Greenpeace Indonesia telah lama mengingatkan pemerintah akan tingginya laju kerusakan hutan Indonesia akibat pemberian izin ke pada para pengusaha HPH. Saat melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Menhut, di Jakarta sebagaimana dikutip Harian Sinar Harapan (11/12/2006), melalui jurubicaranya, Hapsoro menyatakan bahwa pemberian izin HPH diklaim sebagai biang perusakan hutan saat ini. Oleh karena itu, Departemen Kehutanan (Dephut) didesak untuk mencabut semua izin HPH yang ada, dan tidak memberikan lagi izin serupa bagi yang lain. “Pihak Dephut harus bertanggung jawab terhadap semua kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia saat ini. Semua terjadi karena adanya izin HPH, yang pada kenyataannya izin tersebut ternyata membunuh hutan kita,” kata Hapsoro.
Greenpeace sebuah LSM Internasional yang menyebut Indonesia sebagai “perusak hutan tercepat di dunia”, sehingga jutaan hektar hutan di Indonesia menjadi rusak, dan sedang mengusulkan agar “prestasi” itu dapat ditorehkan untuk masuk “Guinnes Book of World Record” pada keluarannya tahun 2008 nanti.
Dalam kesempatan tersebut, Tjatur juga mengungkapkan angka laju deportasi hutan Indonesia telah mencapai 2,8 hektar pertahun. Sementara Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) memperkirakan setidaknya 72% hutan alam Indonesia telah hancur.
Pada tahun 2006, laju kerusakan mencapai 2,72 juta hektar per tahun, setiap menitnya Indonesia kehilangan luas hutan sekitar 5 kali lapangan sepak bola. Jika penebangan liar tersebut dinilai maka pemerintah Indonesia kehilangan pendapatan dari bea pajak yang tidak dibayari sebesar UU$ 1300 atau lebih dari pendapatan rata-rata tiga keluarga di Indonesia dalam satu tahun.
Tak heran kalau bencana alam bertubi-tubi melanda negeri ini, berdasarkan data Bakornas PBP sebagaimana yang dilaporkan Status Lingkungan Hidup (SLHI) 2006 mencatat pada tahun 2006 telah terjadi 195 bencana. Dari total kejadian tersebut, yang paling sering terjadi adalah banjir (22%) diikuti oleh tanah longsor dan kekeringan secara berurutan masing-masing sebesar 15% dan 14%.
Sementara KLH hanya diberi porsi anggaran lingkungan hidup yang sangat kecil yaitu sekitar Rp 836 milyar atau 0,09 % dari total anggaran APBN. Tentu kondisi tersebut akan menyulitkan KLH dalam mengupayakan pelestarian lingkungan di Indonesia yang masalahnya kian kompleks.”Perbandingan dana lingkungan hidup Indonesia dengan negara lain sangat jauh,”kata Tjatur seraya memperlihat tabel perbandingan anggaran lingkungan Indonesia dengan negara lain, dimana Indonesia paling kecil anggaran bahkan tampilan tabelnya hampir tidak kelihatan. Bahkan anggaran lingkungan hidup untuk tahun 2008 diturunkan dari 530 milyar menjadi 456,7 milyar.
Kecilnya anggaran pengelolaan lingkungan di Indonesia lanjut Tjatur, karena pemerintah yang berkuasa sekarang tidak punya visi sustainable development, tidak punya visi lingkungan hidup dan tidak memprioritas isu lingkungan serta orintasi program pemerintah jangka pendek hanya sampai 2009.”Jadi jangan mimpi, makanya pilih presiden yang punya visi lingkungan hidup,”ujar Tjatur.
Ia juga mengelak celutukan Effendi Ghazali, penasehat Presiden Republik Mimpi yang tampil sebagai pemandu diskusi mengatakan, Tjatur pendukung presiden. “Saya tidak mendukung presiden (SBY red), saya dukung pak Amin,” terang anggota DPR-RI dari Fraksi PAN ini. Republik Mimpi salah satu tayangan televisi swasta yang menayakan berbagai isu terkini yang dikemas santai dan humor.
Hal tersebut diamini Dra Masnellyanti Hilman, Deputi III Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan. Menurutnya, kecilnya anggaran pengelolaan lingkungan hidup karena lingkungan dianggap tidak memberikan income (pendapatan) bagi negara.”Walaupun dari dulu selalu kecil dananya, tapi semangat di LH tetap tinggi,”tandasnya.
Baik Tjantur maupun Nelly serta sejumlah peserta diskusi mengusulkan agar kelembagaan mengurusi lingkungan hidup kedepan harus dikembangkan menjadi Menteri Koordinator (Menko) atau Departemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (SDA dan LH). Serta perlu dihidupkan kembali Bappedal sebagai lembaga pengawas.
Selain itu, Tjantur juga mengusulkan pada KLH agar memperbanyak kader-kader lingkungan potensial yang nantinya akan berperan dalam melakukan loby-loby politik ke DPR-RI, departemen terkait dan Presiden untuk penguatan kelembagaan LH.”LH kedepan, harus ada sentuhan politik, ini bukan teknis mengelola sampah, limbah, itu udah beres. Namun sangat ditentukan oleh loby-loby politik ke DPR dan Presiden, jadi harus ada kader yang dipersiapkan untuk meloby,”tandasnya.
Yang tak kalah pentingnya menurut Tjatur adalah membangun aliansi yang lebih besar bersama para penggiat lingkungan untuk memperjuangkan perubahan kelembagaan LH. “Agar KLH tidak lagi menjadi list service saja dan ayam ompong yang tak punya gigi dalam mengurus lingkungan,”ujar alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) ini. (Marwan Azis). Sumber : www.alamsulawesi.net